LAPORAN
PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA I
KULTUR
PAKAN ALAMI
(Chlorella
sp. dan Nannochloropsis sp.)
Oleh :
Nama : Jihan Ibnu Hayyan
NIM : B0A013040
Kelompok : 7
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kultur phytoplankton murni atau
monospesifik spesies dimulai dari kegiatan isolasi kemudian dikembangakan sedikit
demi sedikit secara bertingkat. Media kultur yang digunakan mula-mula hanya
beberapa millimeter saja, kemudian berangsur-angsur meningkat ke volume yang
lebih besar sehingga mencapai skala massal. Kultur phytoplankton hingga volume
sekitar 3 liter masih dilakukan didalam laboratorium sehingga sering disebut
denga kultur skala laboratorium. Selanjutnya dilakukan kultur semi out-door
yang dapat mencapai volume 60-100 liter. Kultur out-door merupakan tahapan
kultur selanjutnya. Kultur aut-door biasanya dimulai dari volume 1 ton hingga
lebih dari 20 ton tergantung besar kecilnya skala pembenihan. Karna kultur
phytoplankton menggunakan proses yang bertingkat-tingkat dari volume keci ke
volume yang lebih besar, maka prinsip kultur phytoplankton tersebut disebut
dengan kultur bertingkat atau berlanjut (Effandie, 2001).
Pertumbuhan suatu jenis
phytoplankton sangat erat kaitanya denga ketersediaan hara makro dan mikro
serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Fakto-faktor lingkungan yang
berpegaruh terhadap pertumbuhan phytoplnakton antara lain cahaya, suhu, tekanan
osmose, dan pH air, yang kemungkinan dapat memacu atau menghambat pertumbuhan.
Selain itu, faktor genetik merupakan faktor internal yang sangat berpengaruh
terhadap sifat-sifat pertumbuhan phytoplankton (Niagara, 2007).
Kultur phytoplakton skala
laboratorium bisanya memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali. Hal ini
dimaksudkan agar pertumbuhan phytoplankton optimal sehingga didapatkan bibit
(strarter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Laboratorium
kultur phytoplakton perlu di lengkapi dengan air conditioner untuk mengatur
suhu ruangan. Cahaya sebagai sumber energy fotosintetis harus cukup, dengan
intensitas sekitar 5.000-10.000 lux. Aerasi juga sangat diperlukan dalam kultur
phytoplankton baik pada skala laboratorium, semi out-door maupun out-door
(kaniusus, 2000).
Volume kultur pada setiap tahapan
kultur dapat bervariasi tergantung pada ketersediaan bibit atau strarter dan
banyaknya kebutuhan phytoplankton. Tidak semua unit pembenihan mampu melakukan
tahapan kultur phytoplankton secara lengkap dari kultur skala laboratorium
hingga kultur skala massal sperti di atas, tergantung ketersediaan fasilitas.
Pada unit pembenihan skala kecil atau skala rumah tangga hingga skala sedang
kultur phytoplankton biasanya hanya di lakukan mulai dari skala semi out-door
kemudian di lanjutkan ke skala massal. Bibit untuk kultur semi out-door
tersebut dapat diperoleh dari unit pembenihan skala besar atau dari unit-unit
pembenihan milik pemerintah (Haryati,
2001).
Dengan
mengetahui arti penting dari pakan alami tersebut maka perlulah dilaksanakan
praktek budidaya pakan alami ini agar mahasiswa lebih mengenal cara mengkultur
pakan alami ikan/udang.
1.2. Tujuan
Mahasiswa dapat mengenal proses
mengkultur Chlorella sp. sebagai pakan alami dan mengenal bentuk, ukuran, dan
komponen sel pada Chlorella sp.
1.3. Manfaat
Sedangkan manfaaatnya yaitu agar
mahasiswa dapat mengamati dan mengetahui prosesmengkultur Chlorella sp, mulai dari koleksi dan isolasi sampai pasca panen.
Serta penghitungan kepadatan phytolankton.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.Marine Phytoplankton
Fitoplankton, secara bahasa, berasal dari
bahasa yunani kuno. Istilah ini berasal dari dua kata yang berbeda.Phyton yang berarti tanaman, dan planktos yang bisa juga disebut pengembara atau
penghanyut. Sedangkan definisi ilmiah fitoplankton sendiri adalah tumbuhan
autotrof mikroskopis yang uniseluler, berhabitat di perairan, dan memiliki
klorofil serta beberapa pigmen lain untuk melakukan fotosintesis.
Habitat fitoplankton adalah
perairan, baik itu pada air asin ataupun pada air tawar. Akan tetapi, mayoritas
spesies fitoplankton hidup di perairan laut. Mereka bersifat planktonik atau
mengambang di badan air dan melayang-melayang mengikuti arus air. Oleh karena
itulah mereka disebut sebagai tumbuhan pengembara. Fitoplankton sendiri
biasanya melayang di zona eufotik. Zona eufotik adalah daerah yang dekat dengan
permukaan air laut dan masih dapat ditembus cahaya matahari. Mereka lebih
sering dijumpai disana karena kebutuhan mereka akan sinar matahari sebagai
sumber energi untuk melakukan fotosintesis.
2.2.Chlorella sp.
Chlorella adalah genus mikroalga atau ganggang hijau bersel tunggal yang hidup di air tawar, laut, dan tempat basah., Ganggang ini memiliki tubuh seperti bola. Di dalam tubuhnya terdapat kloroplas berbentuk mangkuk. Perkembangbiakannya terjadi secara vegetatif dengan membelah
diri. Setiap selnya mampu membelah diri dan menghasilkan
empat sel baru yang tidak mempunyai flagel.
Kingdom: Plantae
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies
• Chlorella vulgaris pyrenoidosa
• Chlorella pyrenoidosa
Selain
tersusun atas selulosa, beberapa spesies Chlorella mempunyai dinding sel yang juga tersusun atas sporopollenin. Sporopollenin
juga terdapat pada spora dan serbuk sari yang merupakan suatu biopolimer dari karotenoid yang mempunyai
kemampuan resisten yang luar biasa
terhadap degradasi oleh enzim atau reagen-reagen kimia yang kuat.
Mempunyai
kemampuan resisten yang sangat kuat, Sporopollenin ini juga mempunyai kemampuan
untuk mengadsorbsi ion logam dari suatu larutan membentuk kompleks
logam dengan ligan. Hal ini menyebabkan
alga hijau ini disebut sebagai filter feeder, yaitu
organisme yang mampu menyaring partikel yang berasal dari suspensi di lingkungan
hidupnya. Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup di air tawar atau air
laut, reproduksi secara vegetatif dengan membelah diri, banyak digunakan untuk
mempelajari fotosintesis.
2.3.Nannochoropsis sp.
Nannochloropsis adalah genus
ganggang yang terdiri dari 6 spesies yang dikenal. Genus dalam klasifikasi
taksonomi pertama kali disebut oleh Hibberd (1981). Sebagian besar spesies
telah diketahui dari lingkungan laut, tetapi juga beberapa berada di air tawar
dan payau. Semua jenis memiliki
struktur yang kecil. Tidak dapat dibedakan
dengan baik oleh cahaya atau mikroskop elektron. Karakterisasi ini kebanyakan
dilakukan oleh gen rbcL dan analisis urutan 18S rDNA.
Ganggang dari genus Nannochloropsis
berbeda dari mikroalga lainnya. Mereka memiliki klorofil a dan tidak memiliki
klorofil b dan c. Selain itu mereka mampu membangun konsentrasi tinggi dari
berbagai pigmen seperti astaxanthin, zeaxanthin, dan canthaxanthin. Memiliki
diameter sekitar 2 sampai 3 mikrometer dan ultrastruktur yang sangat
sederhana.
Domain :
|
|
Kingdom :
|
|
Phylum :
|
|
Class :
|
|
Family :
|
|
Genus :
|
Nannochloropsis
|
Nannochloropsis
sp. merupakan mikroalga berwarna kehijauan, selnya berbentuk bola, berukuran
kecil dengan diamater 2-4 µm, memiliki 2 flagel dengan salah satu flagelnya
berambut tipis. Nannochloropsis
memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma
(bintik mata) yang bersifat sensitif terhadap cahaya. Nannochloropsis dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil.
Ciri khas dari Nannochloropsis sp.
adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa (Siregar, 2010).
Perkembanganbiakan Nannochloropsis sp. terjadi secara
aseksual yaitu dengan pembelahan sel atau pemisahan autospora dari sel
induknya. Reproduksi sel ini diawali
dengan pertumbuhan sel yang membesar.
Periode selanjutnya adalah terjadinya peningkatan aktifitas sintesa
sebagai bagian dari persiapan
pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap
selanjutnya terbentuknya sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan
akhir, yang disusul dengan pelepasan sel anak. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan plankton dibagi dalam dua kelompok, yaitu : faktor
fisik dan faktor kimia
1. Faktor fisik :
cahaya, temperatur air, kekeruhan/kecerahan, pergerakan air.
2. Faktor kimia :
oksigen terlarut, ph, salinitas, nutrisi
1. Cahaya
Ketersediaan cahaya di perairan baik
secara kuantitatif maupun kualitatif sangat tergantung pada waktu (harian,
musiman, tahunan), tempat (kedalaman, letak geografis), kondisi prevalen di
atas permukaan perairan (penutupan awan), atau dalam perairan (absorpsi oleh
air dan material-material terlarut, serta penghamburan oleh partikel-partikel
tersuspensi) (tomascik et al., 1997). Bagi hewan laut, cahaya mempunyai
pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk
proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena
menjadi sumber makanan. Cahaya juga merupakan faktor penting dalam hubungannya
dengan perpindahan populasi hewan laut. Hubungan antara cahaya dan perpindahan
hewan laut ini banyak dipelajari, terutama pada plankton hewan (romimohtarto
dan juwana, 1999). Laju pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada
ketersediaan cahaya di dalam perairan. Menurut heyman dan lundgren (1988), laju
pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan bila perairan berada
pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.
2. Suhu
Suhu air dapat mempengaruhi sifat
fisika kimia perairan maupun biologi, antara lain kenaikan suhu dapat
menurunkan kandungan oksigen serta menaikkan daya toksit yang ada dalam suatu
perairan. Suhu air mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dalam air, semakin
tinggi suhu maka semakin kurang kandungan oksigen terlarut. Suhu air mempunyai
pengaruh yang besar terhadap proses pertukaran zat atau metabolism dari makhluk
hidup dan suhu juga mempengaruhi pertumbuhan plankton. Perkembangan plankton
optimal terjadi dalam kisaran suhu antara 25oc-30oc.
3. Kekeruhan/kecerahan
Kekeruhan sangat mempengaruhi
perkembangan plankton, apabila kekeruhan tinggi maka cahaya matahari tidak
dapat menembus perairan dan menyebabkan fitoplankton tidak dapat melakukan proses
fotosintesis.
3. Pergerakan Air
Arus berpengaruh besar terhadap
distribusi organism perairan dan juga meningkatkan terjadinya difusi oksigen
dalam perairan. Arus juga membantu penyebab plankton dari satu tempat ke tempat
lainnya dan membantu menyuplai bahan makanan yang dibutuhkan plankton.
4. Derajat Keasaman (ph)
Derajat keasaman (ph) berpengaruh
sangat besar terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan
sebagai petunjuk untuk menyatakan baik atau tidaknya kondisi air sebagai media
hidup. Apabila derajat keasaman tinggi apakah itu asam atau basa menyebabkan
proses fisiologis pada plankton terganggu.
4. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut diperlukan oleh
tumbuhan air, plankton dan fauna air untuk bernapas serta diperlukan oleh bakteri
untuk dekomposisi. Dengan adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri
menyebabkan keadaan unsur hara tetap tersedia di perairan. Hal ini snagat
menunjang pertumbuhan air, plankton dan perifiton.
5. Salinitas
Salinitas berperanan penting dalam
kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik. Nybakken (1992)
menyatakan bahwa pada daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis, yang
menyebabkan variasi salinitas tidak begitu besar. Organisme yang hidup
cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰.
6. Nutrisi
Nutrisi sangat berperan penting
untuk pertumbuhan plankton, nutrisi yang paling penting dalam hal ini adalah
nitrat ( no3 ) dan phosphat ( po4 ) phytoplankton mengkonsumsi nitrogen dalam
banyak bentuk, seperti nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam amino. Tetapi
phytoplankton lebih cendrung mengkonsumsi nitrat dan ammonia. Nitrat lebih
banyak didapati di dasar yang banyak mengandung unsur organik ketimbang dari
air laut, nitrat juga bisa diperoleh dari siklus nitrogen. Nitrogen dari nitrat
adalah salah satu unsur penting untuk pertumbuhan blue green alga dan
phytoplankton lainnya(Suantuja, 2009).
Peranan plankton di perairan sangat
penting karena plankton merupakan pakan alami bagi ikan kecil dan hewan air
lainnya. Plankton merupakan mata rantai utama dalam rantai makanan di perairan
plankton dalam suatu perairan mempunyai peranan yang sangat penting. Plankton
terdiri dari fitoplankton yang merupakan produsen utama dan dapat menghasilkan
makanannya sendiri dan merupakan makanan bagi hewan seperti zoo, ikan, udang
dan kerang melalui proses fotosintesis dan zooplankton yang bersifat hewani dan
beraneka ragam. Fitoplankton adalah makanan yang terpenting dalam perikanan
darat yang merupakan makanan primer. Suatu perairan dikatakan subur apabila di
dalamnya banyak terdapat produsen primer yaitu fitoplankton baik kuantitas
maupun kualitasnya.
III.
MATERI
DAN METODE
3.1.
Materi
3.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol Aqua
volume 1 liter, pipet tetes, dan aerasi.
3.1.2.
Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum ini adalah inokulum (fitoplankton), air laut steril,
dan pupuk Guillard PA/ Conwy PA).
3.2.
Metode
Metode yang kami gunakan dalam
praktikum ini adalah “eksperimental laboratoris” yaitu suatu
penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir semua variabel
bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel – variabel yang tidak
relevan dengan masalah – masalah penelitian dibuat seminim mungkin. Hal ini
dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situsi fisik yang
terpisah dari rutinitas kehidupan sehari – hari dan dengan memanipulasi satu
atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikan, dioperasionalkan,
dikendalikan dengan cermat dan teliti
3.3.
Pelaksanaan Praktikum
Cara kerja yang dilakukan dalam
praktikum ini adalah :
1.
Botol aqua 1 liter disiapkan.
2.
Botol
diisi dengan air laut steril bersalinitas
>30 ppt hingga 600 ml.
3.
Dimasukkkan inokulum (fitoplankton) yang akan dikultur kedalam
botol sebanyak 200 ml hingga volume 800 ml.
4.
Ditambahkan pupuk
(Guillard PA/ Conwy PA) sebanyak 0,8 ml.
5.
Diberi aerasi.
3.4.
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Selasa,
11 november 2014 bertempat di laboratotium Jurusan Perikanan dan Kelautan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Tabel
Pengamatan Kepadatan Pakan Alami (Fytoplankton)
Selama 10 Hari
No.
|
Hari,
Tanggal Pengambilan Sampel
|
Chlorella sp.
|
Nannochloropsis sp.
|
1.
|
Rabu, 12 November 2014
|
Tidak Ada
|
111,87 x 104 sel/ml
|
2.
|
Kamis, 13 November 2014
|
105,95 x 104 sel/ml
|
139,37 x
104 sel/ml
|
3.
|
Jumat, 14 November 2014
|
122,50 x 104 sel/ml
|
171,87 x
104 sel/ml
|
4.
|
Sabtu, 15 November 2014
|
127,50
x 104 sel/ml
|
145 x
104 sel/ml
|
5.
|
Minggu, 16 November 2014
|
121,5 x 104
sel/ml
|
130,65 x
104 sel/ml
|
6.
|
Senin, 17 November 2014
|
125,50
x 104 sel/ml
|
126,75 x 104 sel/ml
|
7.
|
Selasa, 18 November 2014
|
38,75 x 104 sel/ml
|
135,62 x 104 sel/ml
|
8.
|
Rabu, 19 November 2014
|
60 x 104 sel/ml
|
110 x 104 sel/ml
|
9.
|
Kamis, 20 November 2014
|
33,12 x 104 sel/ml
|
105,62 x 104 sel/ml
|
10.
|
Jumat, 21 November 2014
|
Tidak Ada
|
Tidak Ada
|
Data
Perhitungan :
Kepadatan Chlorella
sp. hari ke-1 = Tidak Ada
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-2 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
105,95 x
104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-3 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
122,50
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-4 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
127,50
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-5 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
121,5 x
104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-6 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
125,50
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-7 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
38,75
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-8 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
60
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-9 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
125,50
x 104 sel/ml
Kepadatan Chlorella sp. hari ke-10 = Tidak Ada Data
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-1 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
111,87 x
104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-2 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
139,37 x 104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-3 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
171,87 x 104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-4 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
145 x 104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-5 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
130,65 x 104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-6 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
126,75 x
104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-7 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
135,62 x
104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis sp. hari ke-8 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
105,62 x
104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis
sp. hari ke-9 =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
105,62 x
104 sel/ml
Kepadatan Nannochloropsis
sp. hari ke-10 = Tidak
Ada
Foto
Fitoplankton
Gambar Chlorella Gambar
Nannochloropsis sp.
4.2.
Pembahasan
Dari hasil tabel diatas. Dapat dilihat hasil pertmbuhan fitoplankton
selama 10 hari. Pada hari pertama berdasarkan table diatas secara spesifik Chlorella belum mengalami pertumbuhan
atau lebih tepatnya mengalami fase induksi atau istirahat. Dimana pada
fase ini inokulum yang dimasukkan melakukan metabolism namun belum terjadi
pertambahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat. Fase ini fitoplankton
aktif melakukan sintesa protein dan mulai menyerap nutrient yang terdapat pada
media kultur.
dan tidak
menunjukkan hasil yang optimal. Fase induksi pada fitoplankton biasanya terjadi
selama 24 jam(Cahyo, 2011). Chlorella
baru mengalai fase tumbuh pada hari ke-2 yaitu sebesar 105,95 x 104 sel/ml.
Pada hari ke-3
sebesar 122,50 x 104 sel/ml. Pada hari ke-4 sebesar 127,50 x 104
sel/ml. Lalu pada
hari ke-5 sebesar 121,5 x 104
sel/ml. Dan pada hari
ke-6 sebesar 125,50 x 104
sel/ml. Hal ini
sesuai dengan pustaka yang didapat, yaitu pada hari ke-3 hingga hari ke-6, Chlorella mengalami fase eksponensial. Yaitu dimana
pada fase ini inokulum yang dimasukkan melakukan metabolism namun belum terjadi
pertambahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat. Fase ini fitoplankton
aktif melakukan sintesa protein dan mulai menyerap nutrient yang terdapat pada
media kultur. Pada fase ini merupakan fase dimana fitoplankton memiliki laju
pertumbuhan tetap, bereproduksi secara cepat, dengan pertumbuhan populasi
mencapai maksimal(Sudjiman,
1995).
Pada hari ke-7, fitoplankton mengalami
penurunan yaitu menjadi 38,75 x 104 sel/ml. Pada hari ke-8 sebesar 60 x 104
sel/ml. Hal ini
sesuai dengan pustaka yang didapat yaitu masuk kedalam fase stasioner. Fase ini
merupakan fase dimana pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan
fase eksponensial. Pada fase ini laju reproduksi seimbang dengan laju kematian,
dengan demikian laju pertumbuhan fitoplankton tetap(Gino, 2007).
Lalu
pada hari ke-9, fitoplankton kembali mengalami penurunan yang signifikan hingga
33,12 x 104 sel/ml. Tetapi kondisi ini belum dikategorikan pad fase Kematian. Pada
fase ini laju kematian lebih cepat dari pada laju produksi, sehingga jumlah sel
menurun. Penurunan kepadatan fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi
optimum yang dipengaruhi oleh temperatur, cahaya, pH, jumlah nutrien yang ada
dan lain-lain. Karena data pada hari ke-10 tidak ada.
Pada
pengamatan Nannochloropsis sp. Pada
hari pertama mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Yaitu sebesar 111,87 x 104 sel/ml.
Hal inimenunjukkan kalau Nannochloropsis
sp. dapat beradaptasi dengan media kultur yang digunakan. Sehingga tidak
mengalami fase induksi atau istirahat.
Pada hari ke-2
didapatkan hasil sebesar 139,37 x 104 sel/ml.
Pada hari ke-3 sebesar 171,87 x
104 sel/ml. Pada hari ke-4 sebesar 145
x 104
sel/ml. Hal ini aga
kurang sesuai dengan pustaka, yaitu pada hari ke-2 mengalami kenaikan. Akan
tetapi pada hari ke-3 mengalami kenaikan atau terjadi blooming. Lalu pada hari
ke-4 kembali stabil. Seharusnya fitoplankton mengalami fase eksponensial, yaitu dimana
pada fase ini inokulum yang dimasukkan melakukan metabolism namun belum terjadi
pertambahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat. Fase ini fitoplankton
aktif melakukan sintesa protein dan mulai menyerap nutrient yang terdapat pada
media kultur. Pada fase ini merupakan fase dimana fitoplankton memiliki laju
pertumbuhan tetap, bereproduksi secara cepat, dengan pertumbuhan populasi
mencapai maksimal(Stewart, 1996).
Pada hari ke-5 fitoplankton mengalami
penurunan menjadi 130,65
x 104 sel/ml; hari ke-6 menjadi 126,75 x
104 sel/ml; hari ke-7 menjadi 135,62 x 104 sel/ml; hari ke-8 sebesar 110 x
104 sel/ml; dan berangsur turun hingga hari ke-9 sebesar 105,62 x 104 sel/ml. Hal ini sesuai dengan pustaka yaitu masuk kedalam
fase stasioner. Fase ini merupakan fase dimana pertumbuhan mulai
mengalami penurunan dibandingkan dengan fase eksponensial. Pada fase ini laju
reproduksi seimbang dengan laju kematian, dengan demikian laju pertumbuhan
fitoplankton tetap(Faisal,
2009). Pengamatan ini belum menunjukkan masuknya fitoplankton menuju fase
Kematian karena kurangnya waktu yang tersedia untuk melakukan pengamatan lebihi
lanjut.
V.
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang
dilakukaan dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan fitoplankton mengalami
beberapa fase yakni fase Induksi (istirahat), fase Eksponensial, fase Stasioner, dan fase terakhir adalah fase atau
kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Effandie.
2001. Kultur Fitoplankton Untuk Pakan
Alami Ikan. Penebar Swadaya. Bandung.
Niagara, Ahmad. 2007. Faktor Pertumbuuhan Pada Plankton. Unila. Lampung.
Cahyo, Nur.
2011. Karakteristik Fitoplankton.
Penerbit Dua Elang. Yogyakarta.
Siregar, D. 2010. Karakteristik Kimiawi dan Potensi Pemanfaatan Dunaliella
salina dan Nannochloropsis sp. Fishtech.
Stewart, M. 1996. Mikroalgae: Alternatif Pangan dan Bahan Industri di Masa Mendatang. Oseana
Volume XXIII N0. 1
Suantuja, W. 2009. Kultur Plankton-BBAP. Ditjen Perikanan
Faisal, Abdurrahman. 2009. Teknik
Budidaya Plankton. Penerbit Kaisar. Bandung.
Fawwaz, Haydar dan Gino. 2007. Chlorella
Sebagai Pakan Alami Bagi Industri Perikanan.
Penebar Swadaya. Bandung.
Sudjiman. 1995. Penngenalan
Mikroalgae. Universitas Terbuka. Jakarta.
LAPORAN
PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA
II
PENDEDERAN
NENER BANDENG
(Chanos
chanos)
Oleh :
Nama : Jihan Ibnu Hayyan
NIM : B0A013040
Kelompok : 7
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bandeng (chanos-chanos) adalah jenis ikan
konsumsi yang tidak asing bagi masyarakat. Bandeng merupakan hasil tambak,
dimana budidaya hewan ini mula-mula merupakan pekerjaan sampingan bagi nelayan
yang tidak dapat pergi melaut. Itulah sebabnya secara tradisional tambak
terletak di tepi pantai.
Ikan bandeng juga merupakan salah satu jenis ikan
penghasil protein hewani yang tinggi. Usaha intensifikasi perlu dilakukan
karena rendahnya produktivitas bandeng dengan budidaya tradisional, peningkatan
system budidaya juga harus diikuti
dengan penggunaan teknologi terbaru.
Balai besar riset perikanan budidaya
perairan laut (BBRPBL) Gondol – Bali merupakan pusat riset perikanan budidaya
laut terbesar didunia setelah Panama, Amerika tengah, fasilitas penelitian yang
dimiliki BBRPBL sangat lengkap seperti adanya sarana laboratorium biologi,
laboratorium parasitologi, laboratorium kimia dan laboratorium lingkungan serta
laboratorium nutrisi (feed processing) dan bengkel.
Budidaya laut merupakan salah satu program
unggulan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan kesehteraan
ekonomi rakyat, khususnya masyarakat yang hidup dari hasil laut namun, untuk
mencapai hal itu, budidaya yang dikembangkan meski berkelanjutan serta
memerlukan teknologi yang memadai untuk itulah Badan Riset kelautan dan
Perikanan membangun balai riset untuk menghasilkan teknologi yang bisa
dimanfaatkan.
Usaha pembenihan ikan bandeng adalah usaha
yang diarahkan untuk menghasilkan benih ukuran 1,5 cm yang lebih dikenal
sebagai nener, selama pembenihan umumnya dilakukan atas kerja sama, dengan
melalui beberapa tahapan mulai dari pemilihan induk, pemeliharaan induk,
pemijahan, pemeliharaan telur, pemeliharaan larva, serta panen dan penganggutan
nener yang akan dijual maupun yang akan
dipelihara kembali.
1.2. Tujuan
Adapun
tujuan dari praktikum ini adalah untuk bisa menilai suatu lokasi yang layak
untuk dijadikan lokasi pembenihan ikan serta untuk bisa mengetahui secara
langsung bagaimana proses pembenihan itu sendiri.
1.3. Manfaat
Menambah wawasan tentang teknik
pengelolaan larva ikan bandeng dari mualai pemeliharaan hingga pemanenan.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Nener Bandeng
Benih bandeng (nener) adalah benih ikan
bandeng yang baru ditetaskan yang mempunyai panjang badan antara 10-30 mm atau
dengan kata lain anak ikan bandeng yang masih kecil (Grandea,
1995).
Merupakan salah satu sarana produksi
yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak. Perkembangan Teknologi
budidaya bandeng di tambak
dirasakan sangat lambat dibandingkan
dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan salah satu
kendala dalam menigkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini produksi nener
alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus
berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk
mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting.
Kingdom: Animalia
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Gonorynchiformes
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : C. chanos
Ikan bandeng (Chanos chanos F.) merupakan salah satu
komoditas perikanan yang benilai ekonomis. Pada awalnya benih yang digunakan
sepenuhnya hasil tangkapan dari alam, yang keberadaannya dipengaruhi oleh
musim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol-Bali sudah
merintis pembenihan secara buatan sejak tahun 1985, yang terus berkembang
hingga masyarakat luas. Namun dalam pembenihan sering mengalami banyak
kematian, larva banyak cacat yang diakibatkan panen belum cukup umur, untuk itu
perlu dilakukan pengamatan morfologi dengan tujuan untuk mengetahui
perkembangan larva bandeng sehingga bisa menentukan kapan larva bandeng sudah
siap dipanen. Pengambilan sampel dilakukan pada larva umur D-0 sampai dengan
D-20 di bak pemeliharaan larva. Kemudian larva dibawa ke laboratorium Biologi
untuk dilakukan pengamatan. Hasil pengamatan didapatkan larva bandeng umur D-0
mempunyai panjang total 4,16 mm dan D-2 panjang total 4,95 mm pada umur 3 hari
panjang larva menurun menjadi 4,35 mm kandungan kuning telur larva mulai
terserap habis sehingga larva mulai memangsa makanan dari luar. Pada umur ini
adalah masa kritis larva dikarenakan larva banyak mengalami kematian. Larva
bandeng umur 15 hari merupakan benih muda dengan ukuran panjang total 9,18 mm
apabila dilakukan pemanenan larva banyak mengalami kematian, karena belum cukup
kuat terhadap handling (penanganan). Pada larva umur 20 hari dengan panjang
total 14,30 mm merupakan benih bandeng yang siap untuk dipanen. Ikan bandeng
dikenal sebagai ikan petualang yang suka merantau. Ikan bandeng ini mempunyai
bentuk tubuh langsing mirip terpedo, dengan moncong agak runcing, ekor
bercabang dan sisiknya halus. Warnanya putih gemerlapan seperti perak pada
tubuh bagian bawah dan agak gelap pada punggungnya (Dedisafrizal,
2011).
Ciri umum ikan
bandeng adalah tubuh memanjang agak gepeng, mata tertutup lapisan lemak
(adipase eyelid), pangkal sirip punggung dan dubur tertutup sisik, tipe sisik
cycloid lunak, warna hitam kehijauan dan keperakan bagian sisi, terdapat sisik tambahan
yang besar pada sirip dada dan sirip perut. Bandeng jantan memiliki ciri-ciri
warna sisik tubuh cerah dan mengkilap keperakan serta memiliki dua lubang kecil
di bagian anus yang tampak jelas pada jantan dewasa (Dedisafrizal.
2011).
Bandeng banyak dikenal
orang sebagai ikan air tawar. Habitat asli ikan bandeng sebenarnya di laut,
tetapi ikan ini dapat hidup di air tawar maupun air payau. Ikan bandeng
hidup di Samudra Hindia dan menyeberanginya sampai Samudra Pasifik, mereka
cenderung bergerombol di sekitar pesisir dan pulau-pulau dengan koral. Ikan
yang muda dan baru menetas hidup di laut untuk 2 - 3 minggu, lalu berpindah ke
rawa-rawa bakau, daerah payau, dan kadangkala danau-danau. Bandeng baru kembali
ke laut kalau sudah dewasa dan bisa berkembang biak (Anonim, 2009).
Setelah induk
ikan bandeng telah matang gonad. Tahap selanjutnya yaitu pemijahan induk ikan
bandeng. Pemijahan ikan bandeng secara alami terjadi didaerah pantai yang
jernih dengan kedalaman 40-50 meter, dan ombak yang sedikit beriak karena sifat
telurnya yang melayang (Ahmad, 1998).
Pemijahan
bandeng berlangsung parsial, yaitu telur matang dikeluarkan sedangkan yang
belum matang terus berkembang didalam tubuh untuk pemijahan berikutnya. Dalam
setahun, 1 ekor induk bandeng dapat memijah lebih dari satu kali.. Jumlah telur
yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan berkisar antara 300.000-1.000.000
butir telur (Fujaya, 2008).
Menurut Fujaya (2008), pemijahan
alami berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar disekitar gosong
karang atau perairan yang jernih dan dangkal disekitar pulau pada bulan maret,
mei, dan September sampai januari. Bandeng memijah pada tengah malam sampai
menjelang pagi. Sedangkan pemijahan buatan dapat dilakukan melalui rangsangan
hormonal. Hormon yang diberikan dapat berbentuk cair atau padat. Hormone bentuk
padat diberikan setiap bulan, sedangkan hormone bentuk cair diberikan pada saat
induk jantan dan betina sudah matang gonad. Induk bandeng akan memijah setelah
2– 15 kali implantasi tergantung pada tingkat kematangan gonad. Pemijahan induk
betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk
jantan yang mengandung sperma tingkat 3 dapat dipercepat dengan menyuntikkan
hormoneLHR H -a pada dosis 30– 50 mikro gram/kg berat tubuh atau dengan
hormoneHC G pada dosis 5000-10.000 IU/kg berat tubuh (Fujaya,
2008).
Indikator
bandeng memijah adalah bandeng jantan dan bandeng betina berenang beriringan
dengan posisi jantan dibelakang betina. Pemijahan lebih sering terjadi pada
pasang rendah dan fase bulan seperempat. Menurut Ahmad (1998), dalam siklus
hidupnya, bandeng berpindah dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya mulai dari
laut sampai ke sungai dan bahkan danau. Hal ini disebabkan karena bandeng
memiliki kisaran adaptasi yang tinggi terhadap salinitas.
2.2. Faktor
Fisika Kimia
Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran,
suhu 27-31 0 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak
tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan
batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
a.
Suhu
Suhu
optimal untuk budidaya ikan berkisar antara 25˚-28˚C. Pada suhu tersebut ikan
makan dengan rakus dan suhu optimal ini dicapai pada waktu pagi dan sore hari. Perubahan
suhu yang mendadak berpengaruh buruk pada kehidupan ikan. Ikan gurami misalnya
menghendaki suhu air berkisar 24˚-28˚C, ikan nila menghendaki suhu air berkisar
15,5˚-30˚C. Pada suhu dibawah 15,5˚C umumnya ikan tidak dapat hidup dengan
baik. Suhu air yang paling ideal untuk ikan bandeng adalah 27˚-31˚C, jika
dibawah 270C, maka ikan akan mati (Cahyono, 2000).
b.
pH
Menurut
Cahyono (2000), keidealan suatu pH tergantung pada ikan yang akan budidaya.
Kisaran pH yang baik untuk budidaya ikan gurami adalah antara 6,5-8,0 dan untuk
ikan bandeng 7-8. Namun, ikan nila masih dapat hidup pada pH air antara 5-11.
Sedangkan pH air yang cocok untuk pembudidayaan ikan mas adalah berkisar
7,8-8,5. Perairan yang asam juga berpengaruh terhadap nafsu makan ikan (selera
makan ikan berkurang). pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah
dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah (keasaman tinggi), kandungan
oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun,
aktivitas naik serta selera makan akan berkurang. Hal ini sebaliknya terjadi
pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan berhasil
baik dalam air dengan pH 6,5-9,0 dan kisaran optimal adalah pH 7,5-8,7 (Kordi,
2009).
c.
Salinitas
Kisaran salinitas yang berubah-ubah
dapat mempengaruhi pertumbuhan nener bandeng. Nener bandengg dapat tumbuh dalam
kisaran salinitas yang tinggi tetapi ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran
salinitas yang rendah. Namun, nener bandeng dapat tumbuh optimal pada salinitas
sedikit dibawah habitat asal. Pengaturan salinitas pada medium yang diperkaya
dapat dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air tawar. Kisaran
salinitas yang dimiliki oleh nener bandeng
antara 29-30 ppt (Taw, 1990).
III.
MATERI
DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1.
Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium 10 L, aerasi
3.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini nener bandeng, air laut, dan air tawar.
3.2.
Metode
Metode
yang kami gunakan dalam praktikum ini adalah “eksperimental laboratoris” yaitu suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir
semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel – variabel
yang tidak relevan dengan masalah – masalah penelitian dibuat seminim mungkin.
Hal ini dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situsi fisik
yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari – hari dan dengan memanipulasi
satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikan,
dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti
3.3.
Pelaksanaan Praktikum
Adapun tahapan – tahapan yang kami
lakukan dalam praktikum ini adalah
1.
Akuarium disiapkan dengan volume 10L
2.
Diisinya dengan air dan mengaerasinya
3.
Mengisi akuarium
tersebut dengan nener bandeng
4.
Memberi pakan 2x
sehari (siang daan sore) 0,5% dari bobot tubuh
Untuk pengukuran parameter fisika kimia yang dilakukan adalah :
1. Pengukuran Suhu
Suhu aquarium diukur setiap pagi dan petang
menggunakan thermometer.
2. Pengukuran pH
Kadar asam-basa aquariu diukur pagi dan petang
menggunakan ketas pH.
3.4.
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Selasa, 11 November 2014 bertempat di laboratotium Jurusan Perikanan dan
Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel
Pengukuran Suhu dan Perlakuan Nener Bandeng
|
Perlakuan
|
|||
Suhu
Pagi (07.00) (0C)
|
Reaksi
saat diberi pakan (pelet)
|
Suhu
Sore
(17.00)
(0C)
|
Reaksi
saar diberi pakan (Spirulina sp.)
|
|
Rabu, 12/11/2014
|
22
|
-
Langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
|
26,5
|
-
Langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
|
Kamis 13/11/2014
|
23
|
-
Langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
|
27
|
-
Langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
|
Jumat 14/11/2014
|
23
|
-
Langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
-
Terdapat sisa Spirulina sp.
|
24
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (5 ikan), tidak ada
kematian
-
Terdapat banyak sisa pakan (pelet)
|
Sabtu 14/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Terdapat kematian, jumlah ikan
menjadi 3
-
Terdapat banyak sisa spirulina
|
25
|
-
Dimakan sedikit
-
Jumlah ikan tetap (3 ikan)
|
Minggu 15/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Terdapat kematian, jumlah ikan
menjadi 2
-
Terdapat banyak sisa makan
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Senin 16/11/2014
|
22
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Selasa 17/11/2014
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Rabu 18/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
26
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Kamis 19/11/2014
|
22
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
26
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Jumat 20/11/2014
|
22
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
26
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
Sabtu 21/11/2014
|
23,5
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (2 ikan)
|
24
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan berkurang (1 ikan)
|
Minggu 22/11/2014
|
23,5
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
Senin 23/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
Selasa 24/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
Rabu 25/11/2014
|
23
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
25
|
-
Tidak langsung dimakan
-
Jumlah ikan tetap (1 ikan)
|
4.2.Pembahasan
Pada
praktikum nener bandeng, masing-masing kelompok diberi 5 ekor larva bandeng
untuck dipelihara dalam aquarium selama 15 hari. Selama 15 hari, larva bandeng
diberi pakan berupa pellet dan spirulina. Pada hari pertama hingga hari ke-3
bandeng masih mampu beradaptasi dengan baik. Namun memasuki hari ke-4, 2ekor
bandeng mulai mengalami kematian. Tak lama, hari ke 4, ikan kembali mengalami
kematian. Sehingga tersisa 2 ekor. Ikan mengalami puncak kematiannya pada hari
ke-12. Sehingga sampai hari ke-15 yang tersisa tinggal 1 ekor. Hal ini terjadi
karena suhu ideal untuk pendederan bandeng berkisar 27-310C.
Sementara suhu pada aquarium kami hingga hari ke-15 berkisar antara 22-270C.
Untuk pH air relative stabil sejak hari pertama pengamatan hingga hari ke-15.
Banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan larva misalnya dalam faktor fisika
air yang mencantum mengenai kekeruhan air, arus, begitu juga dengan kimia air
misalnya kualitas air dan begitu juga dengan faktor biologi dan fisiologi ikan
itu sediri, hal ini biasanya menyangkut dengan populasi dan ekjosistem serta
habitat ikan dalam lingkungannya.
Masa
larva ikan merupakan masa yang paling keritis, karena pada masa individu ikan
berbentuk lartava individu ikan ini menghadapi mortalitas mulai dari larva,
faktor mortalitas ini bisa saja karena disebabkan oleh karena faktor dari dalam
maupun dari luyar individu larva ikan itu sendiri. Faktor dari dalam misalnya
mengenai organ tubuhnya apabila organ tubuh dan pelengkapnya individu ikan
sangat baik maka akan berpeluang untuk hidup, sedangkan faktor dari luar ialah
terdapat pada faktor lingkungan dan habitat dari ikan tersebut, misalnya faktor
kuantitas dan kualitas makanan, suhu, atau fisika air, dan kimia air yang
selalu memberikan tantangan bagi larva ikan setiap saatnya.
Teknologi produksi benih di hatchery
telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap (HL)
maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT).
Produksi nener di hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karena resiko kecil,
biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di
daerah miskin sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan bila dikaitkan
dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery
lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang
bermutu serta tepat musim, jumlah dan harga (Murtidjo,1989).
Usaha pembenihan ikan bandeng
diarahkan untuk menghasilkan benih ukuran 1,5 cm, yang dikenal sebagai nener.
Selama ini pembenihan umumnya dilakukan atas kerjasama antara Lembaga
Pemerintah, seperti Balai Penelitian Budidaya Pantai dan Balai Budidaya Air
Payau, dengan masyarakat. Mengingat kegiatan ini membutuhkan investasi dan
biaya operasional yang besar dan tenaga trampil, terutama pada kegitan
pemeliharaan induk hingga menghasilkan terlur/larva. Lembaga pemerintah
menghasilkan telur atau larva, kemudian masyarakat menetaskan dan memeliharanya
hingga menjadi nener (Ghufron, 2001).
Pembenihan diawali dengan penyediaan
induk yang biasanya didapat dengan menangkapnya dari laut. Ikan bandeng
termasuk jenis ikan yang heteroseksual. Namun demikian masih sulit untuk
membedakan antara bandeng jantan dan betina. Ikan bandeng betina matang kelamin
terlihat adanya tiga buah lubang pada daerah dubur, yaitu berturut-turut dari
bagian depan adalah lubang pembuangan kotoran (dubur), lubang pengeluaran telur
(genital pore) dan lubang pembuangan air seni (urinary pore). Sedangkan pada
ikan bandeng jantan matang kelamin terlihat dua buah lubang saja yaitu yang
depan lubang pembuangan kotoran dan yang belakang lubang pengeluaran air seni
dan sperma (urogenital pore) (Anonym, 2010).
Larva umur 0-2 hari kebutuhan
makananya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah
ditetaskan diberi pakan alami
yaitu Chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat
larva sudah berubah menjadi nener.
Pada hari ke nol telur-telur yang
tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai
hari ke 8-10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10
dilakukan pergantian air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang
panen. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3-4
sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang
diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan pada kisaran
optimal.
Nener yang tumbuh normal dan sehat
umumnya berukuran panjang 12- 16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara
sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa(Arisman, 1986).
Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72
jam setelah menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan sedang air
media diperkaya Chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit.
Kepadatan rotifera pada awal
pemberian 5-10 ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur
larva mencapai 10 hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah
Chlorella : rotifer : larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau
sebelum 10 hari setelah menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10
setelah menetas. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah
rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari. Sedangkan
penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung dari kesediaan
makanan alami yang ada.
Perbandingan yang baik antara pakan
alami dan pakan buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel.
Pakan buatan yang diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva
pada tiap tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan
komersial yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan
larva bandeng(Taufik, 1993).
V.
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang didapat. Maka diperoleh
kesimpulan bahwa suhu ideal untuk pendederan bandeng berkisar antara 27-310C.
Sementara untuk pH ideal bagi pendederan bandeng adalah 6-8 pH. Selain itu
factor yang membuat larva bandeng tetap hidup adalah mengenai kekeruhan air, arus,
begitu juga dengan kimia air misalnya kualitas air dan begitu juga dengan
faktor biologi dan fisiologi ikan itu sediri.
DAFTAR PUSTAKA
Grandea, T.
(1995). "A cladistic
analysis of fossil and living gonorynchiform ostariophysan
fishes". Geobios 28 (Supplement 2):
197-199. (Diakses 27 September 2011)
Erungan, A.C.
(1997). "Geosmin
sebagai penyebab cita rasa lumpur pada ikan serta kemungkinan penanggulangannya". Bul.
Teknol. Hasil Pertanian 4 (2):
THP- 11—12. http://e- jurnal.perpustakaan.ipb.ac.id/files/Anna_C_Erungan_geosmin_sebagai_penyeba b.pdf. (Diakses pada 27 September 2011)
Arifudin, R.
1983. “Bandeng duri lunak dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi Pasca Panen Perikanan”. BPTP.
Jakarta.
Anonimous. Gaya
Hidup Sehat edisi 491. http
//E:/ikan Bandeng/Ikan Bandeng, Enak – Murah
– Sehat Bergizi « Heart’s Freedom.htm. (Diakses
pada 27 September 2011)
Afrianto Eddy, Liviawaty E. 2002.Pakan
IKAN dan Perkembangannya. Jakarta: Kanisius.
Anonym, 2009.http/: Usaha budidaya
ikan bandeng.
Arisman, 1986 Pembenihan &
Pembesaran Bandeng Secara Intensif (ed. Revisi). AgroMedia.Jakarta:
Fujaya. Y, 2008.
Fisiologi Ikan, Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka cipta. Jakarta
Ghufron. M, 2001. .
Pembesaran Ikan Bandeng di Keramba Jaring Apung. Kanisius. Yogyakarta
Nontji, A, 1988. Laut
Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Romimohtarto. K dan
Juwana.s, 1998. Plankton Larva dan Hewan
Laut. Penerbit pusat penelitian dan
pengembangan oseanologi LIPI-jakarta
Taufik. A, 1993. Pedoman
Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta.
LAPORAN
PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT
ACARA
III
PEMIJAHAN
KERANG DARAH
(Anadara
granosa)
Oleh :
Nama : Jihan Ibnu Hayyan
NIM : B0A013040
Kelompok : 7
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kerang
darah (Anadara granosa) adalah sejenis kekerangan yang biasa
dimakan oleh warga Asia Timur dan Asia Tenggara.
Anggota suku Arcidae ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan hemoglobin
dalam cairan merah yang dihasilkannya.
Kerang ini
menghuni kawasan Indo-Pasifik dan tersebar dari pantai Afrika timur sampai ke Polinesia. Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau
lumpur dan tinggal di mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran 5 sampai
6 cm panjang dan 4 sampai 5 cm lebar.
Budidaya kerang darah sudah
dilakukan dan ia memiliki nilai ekonomi yang baik. Seperti kerang pada umumnya,
kerang darah merupakan jenis bivalvia yang hidup pada dasar perairan dan
mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh dua keping cangkang (valve) yang dapat
dibuka dan ditutup karena terdapat sebuah persendian berupa engsel elastis yang
merupakan penghubung kedua valve tersebut.
Kerang darah mempunyai dua buah
cangkang yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam
tubuhnya. Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian ventral tipis. Cangkang
ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu (1) periostrakum adalah lapisan terluar dari
kitin yang berfungsi sebagai pelindung (2) lapisan prismatic tersusun dari
kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, (3) lapisan nakreas atau sering
disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit (karbonat) yang
tipis dan paralel.
Puncak cangkang disebut umbo dan
merupakan bagian cangkang yang paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo
menunjukan pertumbuhan cangkang. Mantel pada pelecypoda berbentuk jaringan yang
tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Beberapa
kerang ada yang memiliki banyak mata pada tepi mantelnya. Banyak diantaranya
mempunyai banyak insang. Umumnya memilikikelamin yang terpisah, tetapi
diantaranya ada yang hermaprodit dan dapat berubah kelamin.
Selain itu habitat yang biasa
digunakan dalam proses budidaya baik pembenihan maupun dalam proses pembesaran
adalah area atau pantai yang landau dan mempunyai subtract atau lumpur yang
cukup, karena daerah tersebut adalah daerah yang disukai oleh biota ini, dan
kerang darah juga dapat memijah selama sepanjang tahun dan menagalami puncak
pemijahan pada bulan-bulan agustus atau
September, dengan ukuran indukan sebesar 20mm dan berumur 1 tahun.
1.2.
Tujuan
Setelah mengikuti praktikum mata kuliah teknik pembenihan perikanan
laut, mahasiswa dapatmmelakukan pembenihan kerang secara terkontrol di
laboraturium.
1.3.
Manfaat
Sedangkan manfaat dari praktikum ini
adalah mahhasiswa dapat mengetahui cara melakukan pembenihan dan pemijahan kerang darah.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Kerang Darah
Kerang
darah (Anadara granosa) merupakan
salah satu jenis kerang yang memiliki nilai ekonomis dan kandungan gizi yang tinggi.
Kerang darah kaya akan kandungan protein dan mineral yang berpotensi dalam
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui teknik preparasi kerang darah, menghitung rendemen, laju kemunduran
mutu, serta komposisi kimia (analisis proksimat) kerang darah. Parameter yang
digunakan dalam praktikum ini antara lain berat total, lebar, panjang, tinggi,
rendemen cangkang, rendemen daging dan rendemen jeroan. Berdasarkan data yang
diperoleh, yaitu berat total (10,48±1,65) gram, panjang (3,22±0,24) cm, lebar
(2,59±0,34) cm, tinggi (2,19±0,27) cm, rendemen cangkang 67%, rendemen daging
14% dan rendemen jeroan 19%. Kemunduran mutu yang terjadi pada kijing tersebut
dapat dipengaruhi oleh suhu, ukuran, kandungan bahan dan cara penanganannya(Andamari R, 1991).
Budidaya
kerang darah sudah dilakukan dan ia memiliki nilai ekonomi yang baik. Meskipun
biasanya direbus atau dikukus, kerang ini dapat pula digoreng atau dijadikan
satai dan makanan kering ringan. Ada pula yang memakannya mentah.
Seperti
kerang pada umumnya, kerang darah merupakan jenis bivalvia yang hidup pada
dasar perairan dan mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh dua keping cangkang
(valve) yang dapat dibuka dan ditutup karena terdapat sebuah persendian berupa
engsel elastis yang merupakan penghubung kedua valve tersebut.
Kerajaan : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Bivalvia
Upakelas : Pteriomorphia
Ordo : Arcoida
Famili : Arcidae
Genus : Anadara
Spesies : A. granosa
Kerang darah
mempunyai dua buah cangkang yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan
otot aduktor dalam tubuhnya. Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian
ventral tipis. Cangkang ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu (1) periostrakum
adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung (2) lapisan
prismatic tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma, (3)
lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari
lapisan kalsit (karbonat) yang tipis dan paralel.
Puncak
cangkang disebut umbo dan merupakan bagian cangkang yang paling tua.
Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukan pertumbuhan cangkang. Mantel pada
pelecypoda berbentuk jaringan yang tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan
terletak di bawah cangkang. Beberapa kerang ada yang memiliki banyak mata pada
tepi mantelnya. Banyak diantaranya mempunyai banyak insang. Umumnya memiliki kelamin
yang terpisah, tetapi diantaranya ada yang hermaprodit dan dapat berubah
kelamin(Kordi, 2001).
Kakinya
berbentuk seperti kapak pipih yang dapat dijulurkan keluar. Kaki kerang
berfungsi untuk merayap dan menggali lumpur atau pasir. Kerang bernapas dengan
dua buah insang dan bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran
(lamela) yang banyak mengandung batang insang. Antara tubuh dan mantel terdapat
rongga mantel yang merupakan jalan keluar masuknya air.
Kerang darah (Anadara granosa)
adalah sejenis kerang yang biasa dimakan
oleh warga Asia Timur dan Asia Tenggara.
Anggota sukuArcidae ini disebut kerang
darah karena ia menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah yang dihasilkannya.
Kerang ini menghuni kawasan Indo-Pasifik dan tersebar dari
pantai Afrika timur sampai ke Polinesia.
Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di
mintakat pasang surut. Dewasanya berukuran 5 sampai 6 cm panjang dan 4
sampai 5 cm lebar.
Kerang darah
hidup di perairan pantai yang memiliki pasir berlumpur dan dapat juga ditemukan
pada ekosistem estuari, mangrove dan padang lamun (Mzighani 1758). Kerang darah
hidup mengelompok dan umumnya banyak ditemukan pada substrat yang kaya kadar
organik. Distribusi kerang tersebut meliputi Australia, Tropical Indo-West Pacific,
Red Sea, South China Sea, Vietnam, China, Hong Kong (Xianggang), Thailand,
Philippines, New Caledonia, Jepang dan Indonesia yang tersebar di kawasan
pesisir pantai. Di Indonesia, daerah penyebaran kerang ini hampir di seluruh
pantai Indonesia, hidup di dasar, di daerah pasir berlumpur pada kedalaman sampai
dengan 4 meter dan perairan yang relatif tenang (Linnaeus 1758). Teknik
budidaya kerang darah di Indonesia
dimulai dengan pengumpulan benih kerang darah berukuran 4 mm
– 10 mm di tempat penyebaran benih alami di tepi pantai yang landai (PKSPL
2004).
Perkembangbiakan kerang secara
kawin. Umumnya berumah dua dan pembuahannya internal. Telur yang dibuahi sperma
akan berkembang manjadi larva glosidium yang terlindung oleh dua buah katup.
Ada beberapa jenis yang dari katupnya keluar larva panjang dan hidup sebagai
parasit pada hewan lain, misalnya pada ikan.
Gonad
mulai ditemukan pada andara granosa
berukuran panjang 18-20mm. Umur pada saat kematangan tidak begitu jelas. Dari beberapa informasi yang
diperoleh, umur pada saat ukuran panjang tersebut adalah kurang dari satu
tahun. Pada A. Granosa gonad mulai
ditemukan pada ukuran panjang 15 mm. Sementara itu pada di beberapa populasi A. Granosa di colombia ditemukan ukuran
terkecil pada kerang jantan yang matang kelamin adalah 32 mm dan pada betina
adalah 36 mm(Omar,2009).
2.2. Faktor Fisika Kimia
Kecerahan sebesar 10 cm di semua
stasiun dan DO sebesar 5 mg/l di semua stasiun. Kualitas air yang
optimal bagi kehidupan kerang adalah pH 6-9, suhu 26-32oC, DO 3-8 ppm dan
salinitas sebesar 15-34 ppt (Ghufran dkk., 2007).
Parameter yang berpengaruh pada pembenihan kerang darah.
adalah:
1. Ph
pH akan mempengaruhi
toksisitas semua senyawa kimia. Variasi pH dapat mempengaruhi metabolisme dan
pertumbuhan fitoplankton dalam beberapa hal, antara lain mengubah keseimbangan
dari karbon organic, mengubah ketersediaan nutrient, dan dapat mempengaruhi fisiologis
sel. Secara umum kisaran pH yang optimum pada kultur Nannochloropsis sp. Antara
6-5 – 8,5 (M.Gufran, 2001).
2.
Salinitas
Kisaran
salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan dari
mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi
tetapi ada juga mikroalga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang
rendah. Pengaturan salinitas pada medium yang diperkaya dapat dilakukan dengan
pengenceran dengan menggunakan air tawar. Kisaran salinitas yang dimiliki oleh
Nannochloropsis sp. antara 27-34 ppt (M.Gufran, 2001).
3.
Suhu
Suhu
optimal dalam kultur mikroalga Nannochloropsis sp. secara umum antara 27-37 ˚C.
Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa bergantung pada medium yang digunakan.
Suhu diatas dari 37 ˚C akan menyebabkan kematian pada jenis fitoplankton
tertentu, sedangkan apabila suhu kurang dari 27˚C akan menyebabkan kecepatan
dari pertumbuhan fitoplanton menurun (Winarno, 1997).
III.
MATERI
DAN METODE
3.1.
Materi
3.1.1.
Alat
Peralatan yang digunakan
dalam praktikum ini adalah akuarium 10 L lengkap dengan aerasi dan lampu 40 TL,
selang, gayung, pemanas air, gelas ukur, planktonet, nampan, sikat.
3.1.2.
Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum ini adalah kerang darah ukuran > 3 cm, air laut,
air tawar.
3.2.
Metode
Metode
yang kami gunakan dalam praktikum ini adalah “eksperimental laboratoris” yaitu suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir
semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel – variabel
yang tidak relevan dengan masalah – masalah penelitian dibuat seminim mungkin.
Hal ini dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situsi fisik
yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari – hari dan dengan memanipulasi
satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikan,
dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti.
3.3.
Pelaksanaan Praktikum
Tahapan yang dilakukan dalam pemijahan
kerang darah (Anadara granosa) adalah
sebagai berikut :
1.
Seleksi dan
Aklimatisasi Induk
·
Disiapkan akuarium
bervolume 10 liter yang sudah dibersihkan, lengkap dengan aerasi.
·
Akuarium diisi dengan
air laut 4800 ml
·
Dimasukkan induk
kerang darah yang sebelumnya sudah dibersihkan, diukur panjang dan lebar
cangkang.
·
Induk kerang darah
diberi pakan Nannochloropsis sp. 60
ml (perbandingan 10 ml : 1 L).
·
Induk kerang darah
diaklimatisasi selama 24 jam.
2. Pemijahan kerang darah (Anadara
granosa)
·
Air akuarium
dikeluarkan.
·
Kerang darah diekspose
selama 15 menit.
·
Akuarium diberi air
laut 2 liter (< 0,5 akuarium).
·
Akuarium diisi air
hangat 600 ml sampai suhu naik 5-70C.
·
Kerang darah
dimasukkan ke akuarium.
·
Kerang darah diberi
pakan Nannochloropsis sp. 60 ml.
·
Dibiarkan selama 24
jam sampai induk kerang darah memijah.
·
Setelah 24 jam, sampel
air di akuarium di ambil 1 ml dan dihitung kepadatan Nannochloropsis sp.
3. Pemeliharaan larva dan spat
·
Siapkan akuarium yang
sudah dibersihkan lengkap dengan aerasi.
·
Pindahkan telur dari
tempat pemijahan dengan menggunakan planktonet kedalam akuarium pemeliharaan
larva.
·
Dilakukan pemberian
pakan berupa nannochloropsis sp. setelah larva kerang darah berumur 5-7 hari.
·
Pemberian pakan
dilakukan secara intensif.
·
Selanjutnya pengamatan
periode kritis pada larva kerang darah, dengan melakukan pemeliharaan secara
terkontrol.
.
3.4.
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Selasa, 1 Desember 2014 bertempat di laboratotium Jurusan Perikanan dan
Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Tabel pengukuran panjang Anterior dan Inferior pada kerang darah
No
|
Anterior
|
Interior
|
1
|
4,5 cm
|
3 cm
|
2
|
3,6 cm
|
2,4 cm
|
3
|
3,5 cm
|
2,5 cm
|
4
|
4 cm
|
3 cm
|
5
|
4 cm
|
2,7 cm
|
6
|
3,5 cm
|
2,5 cm
|
7
|
4 cm
|
2,6 cm
|
8
|
3,8 cm
|
2,9 cm
|
9
|
4 cm
|
2,5 cm
|
10
|
4 cm
|
3,2 cm
|
Jumlah Fitoplankton yang diberikan ke
kerang darah
Kepadatan
Nannochloropsis sp. awal =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
812,5
x 104 sel/ml
Kepadatan
Nannochloropsis
sp. akhir =
x 25 . 104
=
x 25 . 104
=
187,5
x 104 sel/ml
Foto pengamatan kerang darah
|
|
4.2.
Pembahasan
Budidaya
kerang darah sudah dilakukan dan memiliki nilai ekonomi yang baik. Lokasi
budidaya dapat dilakukan di laut (bagian pinggir) maupun di dalam tambak. Cara
pembudidayaan kerang darah cukup sederhana, tidak terlalu rumit. Apalagi, hewan
ini tidak membutuhkan pakan setiap hari. Sebelum bibit ditebar, lahan tambak
terlebih dahulu diolah sehingga siap untuk dijadikan tempat pembesaran kerang.
Kualitas rasa daging antara hasil penangkapan di alam maupun hasil budidaya
tidak berbeda jauh.
Budidaya
kerang darah saat ini lebih banyak dilakukan untuk tahap pembesaran.
Adapun benihnya dapat diperoleh secara
alami dengan cara mengeruk pasir di laut dangkal pesisir atau dari dalam tambak
hasil pembesaran/indukan. Benih kemudian dibawa ke lokasi budidaya.
Lokasi
budidaya yang akan digunakan perlu dipertimbangkan mengingat secara alami
kerang darah hidup dalam cekungan-cekungan di dasar perairan di wilayah pantai
pasir berlumpur. Jenis kekerangan ini menghendaki kondisi perairan yang
memiliki kadar garam antara 13-28 ppm, kecerahan 0,5-2,5 m, dan pH 7,5-8,4.
Tiap jenis Anadara menghendaki lingkungan yang berbeda. A. antiguata, misalnya,
hidup di perairan berlumpur dengan tingkat kekeruhan tinggi. Sementara itu,
kerang bulu menghendaki perairan berdasar pasir dan jernih. Jika
budidaya dilakukan di luar tambak pembesaran dapat dilakukan di wilayah pasang
surut yang terpisah dari daerah pengumpulan benih. Lokasi pembesaran tersebut
dilingkari dengan pagar bambu(Irianto, 2009).
Di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah budidaya kerang darah telah lama dilakukan oleh
para pembudidaya di Kecamatan Losari dan Kecamatan Wanasari. Tempat lain yang
tengah memulai adalah di Kecamatan Tanjung dan Kecamatan Brebes.
Tahapan budi daya kerang darah
dimulai dengan pengumpulan benih yang berukuran 4-10 mm dari tempat penyebaran
benih alami di tepi pantai yang landai. Operasi pengumpulan dimulai pada saat
air pasang rendah dan kedalaman air sekitar 60 cm. pengumpulan benih
dilaksanakan dengan mengeruk dasar perairan sedalam kurang lebih 3 cm dengan
menggunakan keranjang pengumpul benih. Pengerukan dilakukan dengan menggunakan
papan selancar. Alat yang digunakan untuk pengumpulan benih adalah perahu
berukuran 6-10 m panjang, sebilah papan selancar berukuran 180 cm x 50 cm, dan
keranjang pengumpul benih yang terbuat dari anyaman kawat berdiameter antara
1-2 mm, berukuran 40 cm x 15 cm x 10 cm. Papan tersebut berfungsi pula sebagai
tempat penyimpanan benih yang berhasil dikumpulkan dan sekaligus memudahkan
pergerakan si pengumpul. Proses pengumpulan selesai pada saat dasar perairan
kering tidak berair.
Benih yang terkumpul diseleksi menurut ukurannya. Selanjutnya,
benih ditebar di tempat pembesaran. Padat tebar awal sekitar 2.000 ekor/m2,
kemudian dijarangkan sampai kepadatan 200-300 ekor/m2.
Pengendalian
Hama dan Penyakit perlu dilakukan secara selektif mengingat kerang darah yang
dibudidayakan kerap kali dimangsa oleh siput gastropoda, khususnya pada fase
benih. Mortalitas/kematian massal lebih sering terkait dengan perubahan kondisi
lingkungan, khususnya salinitas. Kematian kerang ini sering terjadi pada saat
hujan yang berkepanjangan yang menyebabkan turunnya salinitas. Kerang akan mati
dalam air bersalinitas di bawah 15 ppm(Giyatmi, 2009).
Pertumbuhan
kerang darah yang dibudidayakan di tambak pada kondisi bahan organik 20-30 %
berkisar antara 400-500 % dari berat awal selama 4-5 bulan. Hal ini menunjukan
keuntungan yang diperoleh dari hasil panen setara dengan pertumbuhannya apabila
digunakan harga yang sama dengan harga benih. Namun jika harga jual mencapai
2-3 kali harga benih, maka keuntungan dapat mencapai 4-10 kali lipat.
Idealnya
kerang darah dipanen setelah dibesarkan selama lima hingga enam bulan. Namun
panen dapat dilakukan lebih awal tergantung permintaan pasar. Cara panen
dilaksanakan dengan menggunakan alat pengeruk yang berukuran lebih besar dan
kuat dibanding alat pengeruk benih atau secara manual dengan tangan dan
dimasukkan wadah berupa karung atau keranjang.
Adapun
factor yang membuat kerang darah mati berdasarkan factor fisika kimia yaitu limbah
senyawa fenol dalam perairan dapat merugikan karena :
- Menimbulkan keracunan pada ikan dan biota yang menjadi makanannya.
- Menguras oksigen dalam air. Hal ini disebabkan
penguraian senyawa-senyawa fenol oleh mikro - organisme membutuhkan jumlah
oksigen yang banyak.
- Menimbulkan rasa tak sedap pada daging ikan.
Senyawa-senyawa fenol
yang terdapat dalam air laut berasal dari limbah rumah tangga, industri dan
pertanian. Senyawa-senyawa fenol pada kadar yang tinggi dapat bersifat toksik,
tetapi masalah utama yang dapat ditimbulkan adalah rasa dan bau. Air yang
mengandung fenol = 0,001 ppm tidak mempunyai rasa dan bau, tetapi fenol pada
kadar tersebut sangat sukar untuk dideteksi(Setyo, 2006).
.
1. Pestisida
Semua
pestisida bersifat racun bagi manusia maupun organisme hidup lainnya. Sebagian
pestisida bersifat persisten, misalnya organofosfat dan karbamat. Pestisida
yang bersifat persisten umumnya lebih berbahaya, karena sukar untuk dikeluarkan
setelah berada didalam jaringan tubuh.
2. Polychlorinated Biphenyls (PCB)
Polychlorinated
Biphenyls terdiri dari senyawa-senyawa bifenil yang mengandung l sampai 10 atom
klor, sukar larut dalam air, mudah larut dalam lemak, minyak dan
pelarut-pelarut non solar lainnya. PCB sukar mengalami penguraian, baik karena
pengaruh panas maupun secara biologis. Ia mempunyai sifat dan struktur kimia
yang hampir sama dengan pestisida. PCB dapat menyebabkan kulit terluka dan
menaikkan aktivitas enzim-enzim hati yang mempunyai efek sekunder pada proses
reproduksi (reproductive processes). Senyawa-senyawa PCB dapat bersifat
“lethal” bagi organisme perairan. Organisme laut lebih sensitif terhadap
senyawa-senyawa PCB dibanding organisme air tawar(Nurjanah, 2005).
3. Logam berat
Secara
alamiah unsur-unsur logam berat terdapat di alam, namun dalam jumlah yang
sangat rendah. Dalam air laut kandungan logam berat berkisar antara 10-5 -
10-2 ppm. Pada umumnya logam berat dibutuhkan oleh organisme
hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, tetapi pada kadar tertentu
bersifat racun bagi organisme perairan. Dalam jumlah yang besar, akan bersifat
racun. Toksisitas logam berat ini tergantung pada kadar dan bentuk senyawa.
Contohnya Cr dapat meninggikan kepekaan pada kulit. Tetapi air dengan kadar Cr
= 0,05 ppm sangat kecil kemungkinannya untuk dapat menimbulkan penyakit.
Disamping itu toksisitas juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan
tersebut, seperti pH, salinitas, suhu, DO dan adanya faktor sinergis dan
antagonis dari beberapa unsur dan lain-lainnya(Furkon, 2004).
V.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Secara teknis budidaya
kerang darah ini tidaklah rumit dan
dapat dengan mudah kita lakukan .
2.
Untukk
dapat berkembang biak dengan baik, kerang darah membutuhkan air dengan
salinitas 27-32 ppt, pH air 7-8, temperature 26-28 0C, dan oksigen
terlarut dengan menggunakan aerasi. Dibawah itu, kerang darah tidak dapat
memijah dengan baik.
3.
Teknik
penijahan terbaik untuk kerang darah ada 3 : kejut suhu, ekspose, dan fluktuasi
suhu. Pada praktikum kali ini yang digunakan adalah metode ekspose dan
fluktuasi suhu.
Komentar
Posting Komentar