Uji Toksisitas Beberapa Bahan Kimia Pada Ikan Nilem

 ACARA V

UJI TOKSISITAS BEBERAPA BAHAN KIMIA PADA IKAN NILEM



 














Oleh :

Nama               :   Jihan Ibnu Hayyan

NIM                  :   B0A013040

Rombongan     :   I

Kelompok        :   5

                                          Asisten              :  Nabil Azizar Rahman




LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PENGELOLAAN KESEHATAN ORGANISME AKUATIK







KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PROGRAM STUDI DIII PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2015
I.         PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Lingkungan yang bebas dan terbuka akan mudah masuk bahan bahan pencemar yang bersifat toksik seperti limbah. Makhluk hidup sangat tergantung pada kondisi lingkungannya termasuk organisme air yang tergantung pada kondisi perairan. Pencemaran bukan lagi hal yang baru dalam kehidupan manusia. Salah satu contoh yang sering ditemui adalah pembuangan limbah industry ke wilayah perairan sungai ataupun laut. Pengaruh bahan pencemar tersebut pada kondisi perairan adalah penurunan kualitas air,  yang selanjutnya berpengaruh pada kondisi organisme air didalamnya. Pengaruh racun atau toksik dari bahan pencemar tergantung pada jenis dan sifat dari toksikan dan juga tingkat kekebalan organisme air.
            Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan adalah pencemaran air, dimana air yang kita pergunakan setiap harinya tidak lepas dari pengaruh  pencemaran yang diakibatkan oleh ulah manusia juga. Beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologik (bakteri, virus, parasit), bahan organik (pestisida, detergen), beberapa bahan inorganik (garam, asam, logam) serta bahan kimia lainnya sudah banyak ditemukan dalam air yang kita pergunakan (Mason, 1991).
Pemakaian insektisida di bidang pertanian sebagai pengendali serangan hama maupun gulma pada tanaman budidaya, akan berpengaruh pula terhadap organisme non target. Pada beberapa tanaman, penggunaan insektisida dan insektisida dapat mempengaruhi ikan melalui run off /pembilasan residu insektisida oleh air hujan, yang pada akhirnya sampai pada perairan tempat hidupnya ikan. Oleh karena itu, untuk memberi gambaran seberapa besar bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pemakaian pestisida terhadap ikan budidaya, khususnya ikan air tawar, perlu dilakukan uji toksisitas akut untuk mengetahui nilai LC50 dari jenis  pestisida tertentu terhadap ikan air tawar. LC50 merupakan singkatan dari  Lethal Concentration  50%, menggambarkan konsentrasi toksikan yang menyebabkan terjadinya kematian (lethal) pada 50% hewan uji dalam suatu waktu tertentu (Idris, 2013).
            Bahan insektisida yang masuk ke perairan dapat mempengaruhi kehidupan ikan yang ada di perairan tersebut, karena  bahan/senyawa kimia aktif yang terdapat pada deterjen dan pestisida membentuk sebuah susunan rantai molekul kimia yang berikatan sangat kuat, sehingga sulit terurai. Hal inilah yang menimbulkan sifat toksik pada insektisida tersebut. Apabila konsentrasi zat tersebut yang masuk ke perairan melebihi ambang batas, maka akan membunuh ikan yang ada di perairan tersebut karena senyawa kimia aktif tersebut mampu untuk merusak insang ikan, sehingga menyebabkan ikan kesulitan bernapas (Idris, 2013). 
            Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, untuk mengetahui kebenaran dari berbagai bahaya zat toksik tersebut maka dilakukan pula beberapa percobaan ini, yaitu uji toksisitas akut (LC50) insektisida terhadap ikan air tawar Ikan Lele (Clarias Sp.). Adapun tujuan dari praktikum ekotoksikologi perairan dalam acara ujitoksisitas bahan pencemar terhadap ikan air tawar adalah untuk mempelajari cara pengukuran daya racun (toksisitas) suatu bahan pencemar dan penentuan toksisitasnya terhadap hewan air serta pengaruh bahan pencemar terhadap kualitas air.

1.2  Tujuan
1.      Mengetahui takaran / dosis bahan kimia tertentu yang dapat mematikan
2.      Dapat mengenali tanda-tanda ikan keracunan



II.                TINJAUAN PUSTAKA
            Dalam era industrialisasi dan globalisasi dewasa ini di beberapa negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, isu kualitas lingkungan menjadi permasalahan nasional yang perlu dicari jalan pemecahannya. Kualitas lingkungan yang menurun di suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap produk-produk yang dihasilkan negara yang bersangkutan. Penurunan kualitas lingkungan akan berpengaruh terhadap produk pertanian, peternakan dan perikanan, sehingga daya saing untuk keperluan ekspor di pasaran internasional menjadi menurun. Selain itu, kualitas kesehatan penduduk yang tinggal di daerah lingkungan yang tercemar akan menjadi buruk dan berdampak pada menurunnya daya kreatitifitas penduduk.
            Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan adalah pencemaran air, dimana air yang kita pergunakan setiap harinya tidak lepas dari pengaruh pencemaran yang diakibatkan oleh ulah manusia juga. Beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologik (bakteri, virus, parasit), bahan organik (pestisida, deterjen), beberapa bahan inorganik (garam, asam, logam) serta bahan kimia lainnya sudah banyak ditemukan dalam air yang kita pergunakan (Mason, 1991).
            Limbah atau toksikan di alam ada yang bersifat tunggal dan ada yang campuran. Keberadaannya di lingkungan (terutama perairan) akan berinteraksi dengan komponen atau faktor lain. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi toksikan adalah sifat fisik kimia toksikan tersebut, sifat fisik kimia biologis lingkungan, dan sumber keluaran dan kecepatan masukan toksikan ke lingkungan. Biota dapat mengalami efek negatif toksikan tunggal atau campuran berbagai toksikan, dalam bentuk perubahan struktural dan fungsional. Efek negatif tersebut dapat bersifat akut atau kronis/subkronis, tergantung pada jangka waktu pemaparan zat yang dapat mematikan 50% atau lebih populasi biota yang terpapar (Mangkoedihardjo, 1999).
            Tidak tertutup kemungkinan bahwa kadar deterjen jenis ABS atau lainnya di suatu perairan, terutama di sekitar pemukiman padat, melebihi ambang, sehingga menimbulkan efek negatif berupa kematian biota. Sekarang muncul permasalahan, berapa lama toksikan terpapar pada biota yang menyebabkan kematian, dan bagaimana menetapkan suatu zat toksikan mempunyai efek toksik yang bersifat akut terhadap organisme. Untuk mengetahui zat/ unsur pencemar penyebab terganggunya kehidupan biota dan efek yang ditimbulkannya terhadap biota dalam suatu perairan, perlu dilakukan suatu uji efek zat pencemar terhadap biota yang ada, yang bisa dilihat dari suatu hasil uji dalam bentuk LC50 suatu biota. Uji tersebut dikenal dengan uji toksisitas, baik uji toksisitas akut atau uji toksisitas kronis (Mangkoedihardjo, 1999). Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis.
           



III.             MATERI DAN CARA KERJA
A.      Materi
            Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah : akuariu, 1 set alat bedah, dan alat tulis
            Bahan yang digunakan pada saat praktikum adalah : ikan percobaan, bahan kimia (PK, formalin, MG, MB, dan Fisca), serta pakan ikan.

B.       Cara Kerja
-            Disiapkan bahan kimia yang digunakan sesuai dosis
-            Disiapkan akuarium dengan volume air 20 L dan ikan sampel
-            Dimasukkan bahan kimia
-            Diamati dan dicermati pengaruh bahan kimia tersebut sampai ikan memperlihatkan gejala keracunan atau tetap sehat
-            Ikan yang mati diamati langsung perubahan warna ikan dan perubahan organ dalam
-            Catat hasilnya dan gambarkan








III.             HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1   Hasil
Tabel 1.1 Data hasil pengamatan
NO
Jam ke-1
 (Jam 10.00)
Jam ke-2
 (Jam 11.00)
Jam ke-3
(Jam 12.00)
1
Berenang didasar
Berenang didasar
Berenang didasar
2
Lemas
Gerakan operkulum normal
Pasif
3
Bergerombol
pasif
Bergerombol
4
pasif

Gerakan operkulum lambat

Tabel 1.2 Data hasil akhir seluruh kelompok
Kelompok
Jenis dan dosis bahan kimia
Jam ke-1
Jam ke-2
Jam ke-3
1
MG 2 gr
Mati
Mati
Mati
2
MG 2 gr
Mati
Mati
Mati
3
NaCl 2 gr
Sehat
Sehat
Sehat
4
NaCL 2gr
Sehat
Sehat
Sehat
5
MB 1 gr
Sehat
Sehat
Sehat
6
MG 0,8 gr
Mati
Mati
Mati
7
NaCl 2 gr
Sehat
Mati
Mati
8
MB 1 gr
Sehat
Sehat
Sehat
9
MG 0,8 gr
Mati
Mati
Mati
10
MB 2 GR
Sehat
Shat
Sehat
11
NaCl 2 gr
Sehat
Sehat
Sehat
12
MB 2 gr
Sehat
Sehat
sehat




3.2  Pembahasan
            Bahan kimia merupakan zat atau senyawa yang berasal dari alam maupun hasil olah tangan manusia (produksi) yang komponen penyusunnya dapat berupa zat atau senyawa tunggal, maupun hasil perpaduan dari beberapa zat atau senyawa. Bahan kimia dapat digolongkan menjadi bahan kimia alami dan bahan kimia sintetis, apabila ditinjau dari asalnya. Adapun contoh-contoh bahan kimia alami, antara lain garam, gula, kapur, jahe, kunyit, air, dan lain sebagainya. Contoh-contoh bahan kimia sintetis, antara lain sampo, sabun, detergen, racun serangga, dan lain sebagainya.
            Bahan kimia golongan alami tidak berbahaya bagi makhluk hidup, khususnya manusia. Sebaliknya bahan kimia golongan sintetis sangat berbahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan. Berbahayanya bahan kimia sentetis dikarenakan sifat yang ditimbulkannya, seperti beracun, korosif atau mudah terbakar, menimbulkan polusi, dan sukar terurai oleh mikroorganisme.
            Selama ini anggapan masyarakat ketika mendengar “bahan kimia“ adalah bahan kimia sintetis. Hal ini terjadi karena sering timbulnya pemberitaan di media cetak maupun elektronik mengenai bahan kimia berbahaya, padahal tidak demikian adanya.
            Selain itu, bahan-bahan kimia juga banyak digunakan sebagai obat-obatan. Baik untuk manusia mauoun hewan. Ada beberapa jenis obat-obatan yang beredar di masyarakat. Berikut adalah perbedaan dari masing-masing obatan tersebut.
1.        Vaksin
            Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau “liar”.
            Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker).
            Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Ada beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.
2.        Antibiotik
            Antibiotik adalah bahan organik yang berasal dari mikrobia yang merupakan racun dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Nilainya yang tinggi dalam pengobatan penyakit menular terutama pada daya racun yang selektif, yang ditunjukkan kepada penyebab penyakit, tetapi tidak kepada inang yang terkena infeksi. Telah dibuktikan sekarang bahwa banyak golongan antibiotik memperlihatkan daya racunnya yang selektif karena kenyataannya sasarannya adalah struktur (fungsi) yang khusus baik sel prokariotik atau eukariotik (Pelzcar & Reid, 1958).
            Antibiotik adalah semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh organisme hidup atau yang diperoleh melalui sintesis yang memiliki indeks kemoterapi tinggi, dan manifestasi aktivitasnya terjadi pada dosis yang sangat rendah. Serta secara spesifik melalui inhibisi proses vital tertentu pada virus, mikroorganisme, atau berbagai organisme bersel majemuk. Dari segi daya kerjanya, antibiotik dapat dibedakan dalam kelompok antibiotik bakteriostatik dan antibiotik bakterisidik. Kelompok yang pertama menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Sedang kelompok yang kedua bekerja mematikan bakteri tersebut (Wattimena et al, 1991).
            Pada umumnya antibiotik mengeluarkan efek bakteriosida pada organisme yang rentan dengan menghambat sintesis dinding sel, merusak membran sitoplasma, menghambat biosintesis protein dan menghambat sintesis asam nukleat. Penicillin merupakan antibiotik yang diproduksi oleh Penicillium notatum. Penicillin memiliki keunggulan yang sangat menonjol dalam mengeluarkan tindakan mematikan pada organisme yang rentan dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel mikroorganisme sehingga dinding sel bakteri yang terbentuk akan melemah yang akhirnya dapat mematikan bakteri tersebut (Volk & Wheeler, 1984).
            Antibiotik bekerja dengan cara menghambat biosintesis dinding sel bakteri, dan juga bersifat bakterisidik (pada penicillin dan derivatnya). Oleh karena sintesis dinding sel terganggu, bakteri tersebut tidak mampu mengatasi perbedaan tekanan osmosa di luar dan di dalam sel, sehingga mengakibatkan kehancuran bakteri tersebut. Sedangkan antibiotik yang bekerja menghambat sintesis protein bersifat bakteriostatik, karena dengan penghambatan sintesis protein, bakteri akan kekurangan protein yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Antibiotik yang termasuk kelompok bakteriostastik adalah tetrasiklin, eritromisin, linkomisin dan rifampisin. Sifat bakterisidik dan bakteriostatik dapat diamati pada kejernihan daerah hambatan di sekeliling media agar yang diinokulasi dengan bakteri tertentu dan diinkubasi selama 24 jam, yang kemudian dilanjutkan sampai 48 jam. Bila daerah hambatan yang terjadi tetap bening sampai 48 jam, menunjukkan bahwa antibiotik yang digunakan adalah bakterisidik (Wattimena et al, 1991).
            Antibiotika diproduksi melalui alur sintesis khusus, yang digolongkan sebagai metabolisme sekunder. Antibiotika pertama kali ditemukan secara kebetulan karena membentuk cincin hambatan. Di atas cawan agar biak yang ditumbuhi secara padat dengan kuman uji (bakteri indikator) nampak tidak terjadi pertumbuhan di sekeliling koloni fungi atau streptomiset, antibiotika berdifusi keluar dari koloni ke dalam agar dan mengakibatkan pembentukan cincin-cincin hambatan di dalam lapangan pertumbuhan bakteri yang padat. Sebagai kuman uji digunakan mikroorganisme yang representatif. Uji kualitatif dan pembuatan antibiotika sudah terpenuhi dengan menumbuhkannya di pusat lempengan agar biak dan masing-masing bakteri indikator dioleskan secara radial. Sesudah inkubasi dapat dibuat pertanyaan mengenai spektrum pengaruh antibiotik, dengan menilai besarnya hambatan pertumbuhan dari masing-masing bakteri indikator (Schlegel & Schmidt, 1994).
3.        Desinfektan
            Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Sedangkan antiseptik didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik seperti bakteri, jamur dan lain-lain pada jaringan hidup. Bahan desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi tangan, lantai, ruangan, peralatan dan pakaian.
Pada dasarnya ada persamaan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan. Tetapi tidak semua bahan desinfektan adalah bahan antiseptik karena adanya batasan dalam penggunaan antiseptik. Antiseptik tersebut harus memiliki sifat tidak merusak jaringan tubuh atau tidak bersifat keras. Terkadang penambahan bahan desinfektan juga dijadikan sebagai salah satu cara dalam proses sterilisasi, yaitu proses pembebasan kuman. Tetapi pada kenyataannya tidak semua bahan desinfektan dapat berfungsi sebagai bahan dalam proses sterilisasi.
Bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan efektivitas dan fungsi serta target mikroorganime yang akan dimatikan. Dalam proses desinfeksi sebenarnya dikenal dua cara, cara fisik (pemanasan) dan cara kimia (penambahan bahan kimia). Dalam tulisan ini hanya difokuskan kepada cara kimia, khususnya jenis-jenis bahan kimia yang digunakan serta aplikasinya.
            Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai desinfektan, tetapi umumnya dikelompokkan ke dalam golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH; golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus -X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan biguanida.
Telah dilakukan perbandingan koefisien fenol turunan aldehid (formalin dan glutaraldehid) dan halogen (iodium dan hipoklorit) terhadap mikroorganisme Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi yang resisten terhadap ampisilin dengan tujuan untuk mengetahui keefektifan dari disinfektan turunan aldehid dan halogen yang dibandingkan dengan fenol dengan metode uji koefisien fenol.
4.        Antiseptik
            Antiseptik adalah agen kimia yang mencegah, memperlambat atau menghentikan pertumbuhan mikro-organisme (kuman) pada permukaan luar tubuh dan membantu mencegah infeksi. Beberapa antiseptik mampu membunuh kuman (bakteriosida), sedangkan yang lain hanya mencegah atau menghambat pertumbuhan mereka (bakteriostatik). Antiseptik berbeda dengan antibiotik, yang menghancurkan kuman di dalam tubuh, dan dari disinfektan, yang menghancurkan kuman pada benda mat. Antiseptik biasanya mengandung alkohol, chlorhexidine dan anilides.
            Pada praktikum kali ini, obat-obatan yang dipakai untuk mengobati ikan adalah sebagai berikut
1. Methyline Blue
            Metil biru merupakan pewarna thiazine yang kerap digunakan sebagai bakterisida dan fungsida pada akuarium.  Di beberapa tempat penggunaan bahan ini sudah semakin tidak populer karena diketahui mempunyai pengaruh buruk terhadap filtrasi biologi dan kemampuan warnanya untuk melekat pada kulit, pakaian, dekorasi akuarium dan peralatan lainnya  termasuk lem akuarium.  Diduga bahan inipun dapat berakibat buruk pada tanaman.
            Metil biru diketahui efektif untuk pengobatan ichthyopthirius (white spot) dan jamur.  Selain itu,  juga sering digunakan untuk mencegah serangan jamur pada telur ikan. Metil biru biasanya tersedia sebagai larutan jadi di toko-toko akuarium, dengan konsenrasi 1 - 2 persen.  Selain itu tersedia pula dalam bentuk serbuk.


2. Malachyte Green
Malachite Green merupakan pewarna triphenyl methanedari group rasamilin. Bahan ini merupakan bahan yang kerap digunakan untuk mengobati berbagai penyakit dan parasit dari golongan protozoa, seperti: ichtyobodo, flukes insang, trichodina, dan white spot, serta sebagai fungisida. Penggunaan bahan ini hendaknya dilakukan pada sistem tertutup seperti akuarium atau kolam ikan hias. Malachite green diketahui mempunya efek sinergis apabila diberikan bersama-sama dengan formalin.
            Terdapat indikasi bahwa kepopuleran penggunaan bahan ini agak menurun, karena diketahui bisa menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan manusia apabila terhirup. Malachite Green juga dapat menimbulkan akibat buruk pada filter biologi dan pada tanaman air. Disamping itu, beberapa jenis ikan diketahui tidak toleran terhadap bahan ini. Warna malachite green bisa melekat pada apa saja, seperti tangan, baju, dan peralatan akuarium , termasuk plastik.
            Hindari penggunaan malachite green dalam bentuk serbuk (tepung). Disarankan untuk menggunakan malachite green dalam bentuk larutan jadi dengan konsentrasi 1% dan telah terbebas dari unsur seng. Malachite Green dapat bersifat racun terhadap burayak ikan, terhadap beberapa jenis tetra, dan beberapa jenis catfish seperti Pimelodidae atau blue gill. Beberapa penyimpangan hasil perlakuan dengan MG dapat terjadi apabila perlakuan dilakukan pada pH air diatas 9 atau apabila temperatur air diatas 21 ° C. Yakinkanlah MG yang digunakan adalah dari jenis yang bebas Seng. Tidak ada salahnya dilakukan percobaan terlebih dahulu pada 1 atau 2 ikan sebelum perlakuan MG dilakukan pada sejumlah banyak ikan.
3. Natrium Chlorida / NaCl
            Garam yang dimaksud adalah garam NaCl, yaitu garam seperti yang kita kenal pada umumnya sebagai garam dapur dalam kehidupan sehari-hari. Rupa dan rasanya sama. Perbedaan utama antara garam ikan dengan garam dapur atau garam meja adalah pada kemurniannya. Garam ikan diharapkan hanya mengandung NaCl saja, karena kehadiran bahan lain pada garam ini dikhawatirkan akan mempunyai dampak yang tidak diinginkan pada ikan yang bersangkutan. Sedangkan garam dapur sering telah mengalami pengkayaan dengan berbagai bahan lain yang diperlukan oleh manusia, seperti Iodium, atau bahan lainnya. Oleh karena itu sering kali secara umum disebutkan bahwa garam yang digunakan untuk ikan adalah garam tidak beriodium. Iodium sendiri tentu saja diperlukan oleh ikan, akan tetapi kehadiran bahan lain yang tidak diketahui dengan pastilah yang menimbulkan kekhawatiran akan menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Apabila tidak terlalu mendesak maka penggunaan garam yang memang sudah dikhususkan untuk ikan akan lebih aman. Meskipun demikian banyak dilaporkan bahwa penggunaan garam beriodiumpun tidak menyebabkan dampak merugikan pada ikan-ikan yang diberi perlakuan tersebut.
            Ikan , dalam hal ini ikan air tawar, di dalam air ibarat sekantung garam. Ikan harus selalu menjaga dirinya agar garam tersebut tidak melarut, atau lolos kedalam air. Apabila hal ini terjadi maka ikan yang bersangkutan akan mengalami masalah. Secara umum kulit ikan merupakan lapisan kedap, sehingga garam didalam tubuhya tidak mudah “bocor” kedalam air. Satu-satunya bagian ikan yang berinteraksi dengan air adalah insang.
            Air secara terus menerus masuk kedalam tubuh ikan melalui insang. Proses ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya. Sebaliknya garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung secara seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh ikan ini dikenal dengan sebutan osmoregulasi. Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi larutan dalam tubuh ikan. Apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati., karena akan terjadi ketidak seimbangan konsentrasi larutan tubuh, yang akan berada diluar batas toleransinya.
            Pada saat ikan sakit, luka, atau stress proses osmosis akan terganggu sehingga air akan lebih banyak masuk kedalam tubuh ikan, dan garam lebih banyak keluar dari tubuh, akibatnya beban kerja ginjal ikan untuk memompa air keluar dari dalam tubuhnya meningkat. Bila hal ini terus berlangsung, bisa sampai menyebabkan ginjal menjadi rusak (gagal ginjal) sehingga ikan tersebut tewas. Selain itu, hal ini juga akan diperparah oleh luka dan atau penyakitnya itu sendiri. Dalam keadaan normal ikan mampu memompa keluar air kurang lebih 1/3 dari berat total tubuhnya setiap hari. Penambahan garam kedalam air diharapkan dapat membantu menjaga ketidak seimbangan ini, sehingga ikan dapat tetap bertahan hidup dan mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya dari luka, atau penyakitnya. Tentu saja dosisnya harus diatur sedemikan rupa sehingga kadar garamnya tidak lebih tinggi dari pada kadar garam dalam darah ikan. Apabila kadar garam dalam air lebih tinggi dari kadar garam darah, efek sebaliknya akan terjadi, air akan keluar dari tubuh ikan, dan garam masuk kedalam darah, akibatnya ikan menjadi terdehidrasi dan akhirnya mati.
            Pada kadar yang tinggi garam sendiri dapat berfungsi untuk mematikan penyakit terutama yang diakibatkan oleh jamur dan bakteri. Meskipun demikian lama pemberiannya harus diperhatikan dengan seksama agar jangan sampai ikan mengalami dehidrasi.
            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan adlah bahwa ikan maupun makhluk hidup lain bersifat sangat sensitif terhadap bahan kimia. Hal ini sesuai dengan penyataan Idris (2013), Apabila konsentrasi zat tersebut yang masuk ke perairan melebihi ambang batas, maka akan membunuh ikan yang ada di perairan tersebut karena senyawa kimia aktif tersebut mampu untuk merusak insang ikan, sehingga menyebabkan ikan kesulitan bernapas. Selain itu menurut Mangkoediharjo (1999), efek negatif tersebut dapat bersifat akut atau kronis/subkronis, tergantung pada jangka waktu pemaparan zat yang dapat mematikan 50% atau lebih populasi biota yang terpapar.
            Oleh karenanya, kita harus mampu mengelelola lingkunga dengan baik. Agar bahan kimia berbahaya tidak mencemari perairan, lantas merusak biota dibawahnya.. Menurut Mason (1991), beberapa bahan pencemar seperti bahan mikrobiologik (bakteri, virus, parasit), bahan organik (pestisida, deterjen), beberapa bahan inorganik (garam, asam, logam) serta bahan kimia lainnya sudah banyak ditemukan dalam air yang kita pergunakan.
IV. KESIMPULAN
            Kesimpulan dari hasil praktikum “Uji Toksisitas Beberapa Bahan Kimia pada Ikan Nilem” adalah sebagai berikut :
1.        Bahan kimia dalam dosis tertentu dapat membahayakan bagi kehidupan ikan. Oleh karenanya, kita harus menhetahui takaran yang tepat agar tidak mematikan bagi ikan.
2.        Banyak tanda-tanda keracunan dari ikan. Seperti misalnya pergerakan operculum yang menjadi cepat, atau pergerakannya yang menjadi tidak terkendali. Sehinnga kita harus dapat mengenali tanda-tanda ikan keracunan.





DAFTAR PUSTAKA
Hutomo,  M.,  Burhanudin  dan   Martosewojo,  S.,  1985.  Sumberdaya  Ikan  Terbang.
            Lembaga Oseanologi Nasional . LIPI . Jakarta. 98 hal .
Iwanowicz, Deborah D. 2012. Overview On The Effects Of Parasites On Fish Health.       Natioinal Fish Research Laboratory. Kearneysville.   
Kusriani, P. Widjanarko, dan N. 2012. Rohmawati. Uji Pengaruh Sublethal Pestisida        Diazinon 60 EC terhadap Rasio Konversi Pakan (FCR) dan Pertumbuhan Ikan        Mas (Cyprinus carpio L.). Universitas Brawijaya. Malang.
Mallaya, John,  and  Yovita.,  2007. The  Effect  of  Dissolved  Oxygen  on  Fish     Growth  in Aquaculture. Kingolwira National Fish Farming centre, Fisheries   Division Ministry of Natural Resourches and Tourism Tanzania.
Marcogliese, D. J. 2005. Parasites of the superorganism: Are they indicators of       ecosystem health?. International Journal of Parasitology 35:705-716.
Matthews, R. A. 2005.  Ichthyopthirius multifilis Fouquet and Ichthyopthiriosis in fresh    water teleosts. Advances in Parasitology 59:160-241.
Yumiarti,  June Mellawati,  dan  Suwinna  S. 1996. Akumulasi, Distribusi, dan       Toksisitas Cd Terhadap Ikan Lele (Clarias batracus) Dalam Air. Pusat Aplikasi      Isotop dan Radiasi. BATAN.


Komentar